“Justru saya disana menemukan paradoks, kreativitas seniman ini sedang mengalami kevakuman, hingga sedikit karya-karya baru yang dilahirkan. Bahkan menjadi ‘pertapa’ menjauhi dunia kesenian.” - Nurel Javissyarqi -
JOMBANG – Belajar selalu memiliki ruangnya tersendiri. Demikian halnya yang selalu dirasakan dan diterapkan oleh Nurel Javissyarqi. Pria yang berdomisili di Kabupaten Lamongan ini, mengawali hobinya dengan menggambar dan berkembang melukis di atas kanvas. Hingga Ia dipertemukan pada sang guru Pelukis, Tarmuzie.
Seiring berjalannya waktu, seorang Nurel Javissyarqi semakin tertarik untuk mendalami menggambar berkat kekagumannya pada sosok sang guru. Hingga dirinya menuangkan pada sebuah karya yang dibukukan dengan judul ‘Proses Kreatif Saya Bersama Pelukis Tarmuzie tepat lima hari setelah sang guru meninggal dunia.
Menurut Penulis, Robin Al Kautsar saat diskusi buku karya Nurel Javissyarqi pada Jumat (5/4) di warung Boengaketjil Parimono V/40 Jombang, “Buku yang menceritakan gambaran ringkas tentang penulis, perlahan mulai tertarik pada seni lukis dan mencoba memasuki. Namun justru dalam perjalanan Nurel Javissyarqi menemukan dunia kepenulisan atau sastra.”
Baca Juga : Ahmad Rofiq As’ari Menemukan Perasaan Lepas Saat Bersepeda
Hal ini dibenarkan Nurel Javissyarqi sambil menyeruput secangkir kopi kemudian bercerita bahwa ketika dirinya sudah beranjak SMP, kehidupannya bersua dengan Tarmuzie. Diawal tahun, dirinya memutuskan untuk mengikuti kursus di Sanggar Lukis Alam.
“Namun proses ini terhenti ketika saya bersekolah di Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Darul Ulum Tambakberas Jombang. Tetapi hubungan baik dengan beliau selalu terjaga, pasalnya saya menganggap Tarmuzie sebagai ayah, kakak dan teman meski sudah menikah sekalipun,” terang pria yang sering dipanggil Nurel itu.
Ketika Nurel melanjutkan kuliah di Yogyakarta, gejolak rasa serta keinginan menjadi pelukis terbaik, hingga mencari dan mengunjungi para pelukis lain kenalan dari Tarmuzie. Namun hal mencengangkan malah didapati Nurel, yaitu pada kenyataannya para seniman mengalami kemiskinan. Hal ini dikarenakan ego sang seniman yang tidak menginginkan karyanya dibeli oleh penikmat seni lukis.
“Justru saya disana menemukan paradoks, kreativitas seniman ini sedang mengalami kevakuman, hingga sedikit karya-karya baru yang dilahirkan. Bahkan menjadi ‘pertapa’ menjauhi dunia kesenian,” terangnya saat diskusi berlangsung.
Disisi lain, fikirannya menjadi bercabang atas sutiasi yang dijumpai kala itu. Hingga seorang Nurel Javissyarqi pun mengekspresikan segala yang dirasakan melalui sastra. Tentu dengan beragam pendalaman atas pengamatan yang dirinya jumpai.
Pengamatan ini berlangsung dalam setiap Nurel Javissyarqi berpijak disuatu tempat. Hal ini menjadi sebuah pembelajaran baginya untuk menemukan suatu ide atas karya sastranya yang sudah berkembang kini. Baginya, ketika pengamatan atas suatu objek secara detail dicermati, akan muncul beragam pertanyaan. Serta jawabannya pun didapatkan dari penelusurannya dalam menikmati setiap waktu yang dilalui.
“Melalui diskusi inilah, saya berencana akan melakukan revisi yang nantinya terdapat penambahan pembahasan dari beberapa rekan penulis yang hadir. Sehingga buku yang menceritakan Tarmuzie menjadi semakin lengkap dalam rekaman karya sastra rekan penulis yang juga mengenalnya,” harap Nurel Javissyarqi. ■ chicilia risca